Rabu, 27 November 2013

Mencintamu Selamanya



Hujan gerimis sore itu turun berderai membasahi bumi. Ardhika diam terpekur menatap hujan yang menari-nari di atas tanah sebelum akhirnya mengalir ke selokan depan rumahnya. Hujan seakan selalu mengingatkannya pada Lidya. Gadis yang pernah dicintainya bertahun-tahun yang lalu. Saat mereka masih sama-sama kuliah di sebuah perguruan tinggi islam swasta di kota kecilnya itu.
            Gadis yang telah menggoreskan sebuah kenangan indah tentang indahnya cinta pertama. Gadis yang telah membuat hari-harinya menjadi hidup dan penuh warna. Gadis yang menjadi alasan mengapa ia selalu ingin tersenyum dan begitu bersemangat setiap kali berangkat kuliah. Namun, gadis itu pulalah yang selalu menjadi alasan mengapa sampai kini pun ia masih saja sendiri. Meratapi segala luka hati yang pernah tergores pedih mengubur semua angan dan impiannya.
            “Mas.” Suara seorang gadis tiba-tiba mengusik lamunannya.
            Ardhika tersenyum saat melihat Yuna, adik perempuan semata wayangnya yang kini tengah kuliah di kampusnya dulu telah berdiri di belakangnya. Jilbab warna pink membalut kepalanya dan membingkai wajah putihnya. Membuat gadis itu terlihat begitu cantik sore itu.
            “Baru saja pulang kuliah, Yun?”
            “Iya mas.” Jawab Yuna sambil mencium tangannya.
            “Mas lagi ngapain ngeliatin jendela sambil bengong? Ati-ati loh mas ntar kesambet.”
            “Kesambit bukumu lha iya, Yun. Kamu kan paling nggak bisa ngeliat orang bengong.”
            Yuna hanya tersenyum, “Pasti mas lagi inget sama mbak Lidya? Iya kan?” Tebak Yuna tiba-tiba setelah senyuman dibibirnya menghilang.
            “Sok tau kamu, Yun.”
            “Tadi Yuna abis ketemu sama mbak Lidya di kampus mas. Dia nanyain mas Ardhi, katanya kenapa mas Ardhi sekarang udah nggak pernah lagi muncul di kampus. Kayaknya dia belom tau kalo mas udah wisuda setahun yang lalu.”
            Ardhika terhenyak kaget medengar kata-kata yang meluncur dari bibir adiknya itu. “Trus kamu jawab apa Yun?”
            “Ya aku jawab aja kalo mas Ardhi itu udah wisuda tahun lalu. Eh, malah mbak Lidya yang balik terkejut. Sepertinya dia abis cuti kuliah cukup lama ya Mas?”
            Ardhika mengangguk, sebelum akhirnya menyambung anggukan kepalanya dengan sebuah jawaban yang kembali menggores pedih hatinya. “Dulu setelah menikah dia sempat ngajuin cuti, karena ternyata hanya beberapa bulan setelah akad nikah dia langsung hamil. Jadi kami berdua sudah cukup lama tidak pernah lagi ketemu.”
            “Sejak mbak Yuna menolak lamaran mas Ardhi kalian sudah tidak pernah ketemu lagi Mas?”
            “Iya, Yun. Aku selalu berusaha untuk menghindari Lidya. Aku nggak habis pikir, Yun. Kenapa di jaman modern seperti ini masih saja ada Siti Nurbaya seperti dia.”
            “Tapi bukan itu yang membuat Yuna heran Mas.”
            “Lalu apa, Yun?”
            “Bukankah dulu Mbak Lidya yang meminta mas untuk melamarnya? Karena dia termasuk orang yang anti pacaran sebelum nikah? Dia hanya akan pacaran dengan lelaki yang sudah sah menjadi suaminya?”
            “Itulah Yun, yang membuat aku tak pernah bisa mengerti sampai sekarang. Aku masih selalu saja dibuat kebingungan akan sikapnya itu.”
            “Tapi yang Yuna tahu Mbak Lidya itu mencintai mas Ardhi.”
            “Suka Yun bukan cinta. Karena buatnya cinta itu hanya akan ada dalam ikatan suami istri yang sah. Bukan dalam hubungan antar teman, sebab itu dilarang dalam agama, Yun.”
            Yuna terdiam sementara Ardhika masih saja menatapnya dengan penuh kasih sayang. Sesaat kemudian Yuna menatap Ardhika dan tersenyum.
            “Kenapa tiba-tiba tersenyum Yun?”
            Pertanyaan Ardhika hanya dijawab dengan gelengan kepala oleh Yuna. Sebelum akhirnya gadis itu pamit masuk kamar kepada kakaknya itu.
®®®
            Sepeninggal Yuna kembali Ardhika memakukan pandangan matanya pada hujan yang tengah tercurah dari langit. Muncul keinginan dalam hatinya untuk memagari kenangan dan ingatannya pada sosok Lidya. Namun entahlah, dia sendiri tidak yakin kalau dia mampu melakukannya.
            Kebimbangan itu masih juga menderanya. Menjeratnya dalam keterpasungan kesadaran, bahwa Lidya tak mungkin bisa di raihnya lagi. Meski sebesar apa pun keinginannya untuk memiliki Lidya masih menyala-nyala di jiwa. Belum juga redup semua impian yang dulu sempat terukir dalam setiap mimpinya. Tapi, kini dia juga harus berhadapan pada sebuah kenyataan yang amat pahit menurutnya. Lidya sudah menjdi istri orang lain, dia juga sudah memiliki satu otang putra. Lalu untuk apa sebenarnya dia masih juga mengharapkan Lidya?
            Entahlah! Ardhika sendiri belum pernah menemukan jawabnya hingga kini. Namun satu yang pasti, untuk melupakan Lidya juga bukan sebuah perkara yang mudah untuknya. Bertahun-tahun lalu sejak penolakan Lidya yang mendadak dan tanpa alasan, sudah ribuan cara dia tempuh untuk melupakan Lidya. Namun, hasilnya nihil! Dia tetap saja tak pernah bisa menghapus bayangan Lidya dari kehidupannya. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk berhenti berusaha melupakan Lidya. Dia tidak lagi ingin melawan gejolak hatinya. Namun, tak pernah mudah baginya untuk berdamai dengan segala kenyataan yang ada.
            Masih jelas di ingatannya saat tiba-tiba saja Lidya mengiriminya surat lewat Ratih teman satu pondok Lidya yang juga teman sekelasnya. Surat itulah yang menjadi alasan kenapa saat itu dia memberanikan diri berhadapan dengan orangtua Lidya. Meski pun saat itu dia hanyalah seorang mahasiswa yang tengah berusaha untuk merintis usaha bisnis sampingan kecil-kecilan bersama beberapa orang teman kuliah. Orangtua Lidya menerima kedatangannya dengan baik, mereka tidak menolak lamarannya. Sepenuhnya keputusan mereka serahkan kepada Lidya. Namun, pada hari yang mereka janjikan untuk memberikan jawaban ternyata Lidya menolak lamarannya. Betapa sakit hatinya saat mendengar jawaban Lidya. Bukankah Lidya yang meminta untuk melamarnya? Namun mengapa kini justru dia malah menolaknya? Ardhika tak pernah tahu apa alasan sesungguhnya dibalik sikap Lidya yang aneh dan membingungkan itu. Untuk menutupi rasa malu orangtuanya kepada Ardhika, mereka akhirnya menjodohkan Lidya dengan orang lain setelah penolakan yang memalukan itu.
®®®
            Ardhika sendiri memutuskan untuk mundur dan menjauh sejauh yang ia mampu dari kehidupan Lidya. Dia tak ingin mengingat semua luka itu lagi. Dia berharap dapat membuka lembaran baru dalam hidupnya. Namun ternyata melakukan itu semua tak semudah yang dibayangkannya selama ini. Sulit untuk melupakan sosok yang menyentuh hatinya untuk pertama kali dengan sebuah rasa yang begitu asing namun terasa demikian indah dan menyentuh.
            Bila Ardhika terus mengikuti hatinya, maka mungkin sampai kapan pun dia tidak akan mampu melupakan semua kenangan itu. Namun ia tidak ingin terpuruk selamanya. Keinginan untuk dapat bangkit dan menata hidupnya lagi sedemikian besar mengusai hati dan pikirannya. Namun, tertatih ia mewujudkan semua itu. Tak ada kata mudah untuk perjuangan yang tengah ditempuhnya saat ini.
            Entah kapan ia akan mampu tegak berdiri lagi seperti dulu saat ia belum bertemu dengan Lidya. Entah kapan ia mampu melanjutkan hidupnya tanpa bayang-bayang Lidya yang terus mendekap erat seluruh hatinya seperti sekarang. Dia tahu semua itu akan butuh waktu yang panjang atau bahkan teramat panjang. Namun ia yakin akan datang saat dimana ia mampu menjadi seorang Ardhika yang baru. Nanti pada waktunya yang akan coba dia mulai perjuangannya itu saat ini! Sekarang juga! Demi sebuah kehidupan baru yang penuh dengan kebahagiaan. Bukan menjadikan apa yang pernah dialaminya menjadi trauma berkepanjangan. Tetapi dengan menjadikan apa yang pernah dilaluinya ini menjadi sebuah pelajaran berharga bagi hidupnya yang tidak akan pernah ia lupakan selamanya. Never ending for first love.
²END²

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Untitle

Apa yang kau tahu ketika para dewata agung mengikat jiwa kita? Ketika mereka membuat hati dan jiwa milik kita saling terhubung selalu terh...