Pada pagi yang cerah itu
masih cukup lama waktu yang diperlukan untuk penjaga sekolah membunyikan bel
tanda masuk. Jam di dinding kantor guru masih menunjuk ke angka 06.40 menit.
Murid-murid juga masih terus berdatangan ke sekolah. Sementara itu didepan
musholla terlihat sekelompok remaja cowok tengah duduk sambil bercengkrama dan
memandangi rekan-rekan mereka yang terus berdatangan satu per satu.
“Dith, gimana kabar Tuan
Putri Tantri?” Tanya Akbar setelah melihat sosok Tantri yang tengah berjalan
seperti seekor bebek dari kejauhan.
“Iya Dith, dia masih setia
ngejar-ngejar elo nggak?” Fatih menambahi pertanyaan Akbar.
“Tantri elo tanyain. Dia sih
masih aja tetep rese!” Fadith terlihat menggerutu.
“Tapi, kabar yang beredar
dikalangan anak-anak elo lho yang lagi pedekate ama Tantri, Dith. Bukan dia
yang lagi ngejar-ngejar elo.” Sambung Aidil.
“Tapi, kenapa mendadak elo
jadi setengah sinis gitu ama Tantri? Biasanya elo nyantai aja ngeladenin si
Tantri itu.” Akbar mendadak merasa mendapat kesempatan untuk mempertanyakan
rasa penasarannya atas perubahan sikap Fadith beberapa waktu belakangan ini.
“Mulai ada pandangan lain ya
Dith?’ Fatih menyambung pertanyaan Akbar yang sarat dengan rasa penasaran.
“Jujur….! Gue sebenernya
bosen harus pura-pura terus didepan Tantri. Gue tuh cuma simpati aja ama dia!
Nggak bener-bener suka!”
“Lha terus kalo gitu elo sukanya
ama siapa? Elo sendiri kan tau si Tantri itu cantik, seksi, banyak banget lagi
cowok sini yang suka ama dia. Tapi dia itu sukanya cuma ama kamu…. Gitu loh.”
“Emang gue pikirin!” Ketus
ucapan Fadith sambil menghadap ke muka Akbar. “Mimpi aja sana terus!” Sambung
Fadith sesaat kemudian sambil melemparkan pandangannya ke arah halaman depan
sekolah.
Kebetulan, di halaman sekolah
baru saja berhenti sebuah sepeda motor berwarna biru. Sepasang remaja cowok dan
cewek terlihat ada diatasnya. Sesaat setelah motor tersebut berhenti, remaja
cewek yang duduk diboncengan motor terlihat turun dan melepaskan helmnya.
Fiana, gadis yang beberapa minggu belakangan ini menjadi pusat perhatian
Fadith. Tapi, tidak berani dia dekati. Karena ternyata gadis itu adalah kekasih
sahabatnya yang juga menjadi ketua osis di sekolah, Triadi. Dia melihat pagi
itu mereka berdua berangkat sekolah berdua. Entah mengapa muncul rasa tidak
suka dan iri didalam hatinya melihat hal tersebut. Apalagi saat keduanya
terlihat berjalan ke arah dimana dia dan kawan-kawannya berkumpul. Rasa tidak
suka itu semakin mengusik batinnya. Buru-buru dia berusaha menepis perasaan
itu. Karena bagaimana pun juga gadis itu adalah kekasih sahabatnya sendiri. Dia
merasa tidak pantas, apabila memiliki perasaan seperti itu. Dengan mata
kepalanya sendiri, dia melihat Triadi memegang bahu Fiana dengan kedua
tangannya. Matanya tajam dan lurus menatap ke tengah-tengah bola mata gadis
itu. Entah apa yang mereka perbincangkan. Tapi tak lama kemudian, Fiana terus
saja berlalu menuju ke kelas. Tinggal Triadi disana yang tengah berjalan ke
arah mereka. Tanpa sadar mata Fadith mengikuti arah kemana Fiana pergi dan
akhirnya menghilang.
“Ngeliatin siapa, Dith?”
Sapa Triadi yang tengah menyalami rekannya satu per satu.
“Ah, nggak kok. Nggak
ngeliatin siapa-siapa.” Jawab Fadith sambil meraih tangan Triadi yang terulur
tepat didepan wajahnya. “Elo sendiri? Pagi-pagi udah mesra banget ama pacar.”
Triadi tiba-tiba tertawa
mendengar pertanyataan Fadith. “Pacar, Dith? Yang Mana? Siapa?”
“Lha barusan elo boncengan
ama siapa? Hantu? Penampakan? Orang sesekolah juga tahu Di, kalo elo berdua itu
pacaran.”
“O……………..h Fiana maksud elo?
Bisa marah dia kalo denger elo ngomong gitu Dith.”
“Kenapa?”
“Karena dia emang bukan
cewek gue.” Mata Fadith dan ketiga rekannya terbelalak mendengar ucapan Triadi
yang terdengar begitu ringan diucapkan itu.
“Lha kalo dia bukan cewek elo terus dia itu
apanya elo?” Tanya Aidil.
“Adik Kandung Gue.”
“Serius elo?”
“Dua rius!” Triadi
mengangguk untuk meyakinkan teman-temannya. “Heran ya ngeliat kakak adik bisa
mesra banget kayak orang lagi pacaran?” Triadi setengah mengejek
teman-temannya. Fadith hanya tersenyum simpul mendengar pernyataan Triadi.
“Kenapa elo senyumnya kayak
gitu? Mencurigakan nih...”
“Cantik, Di.”
“Adik gue? Dia sih emang udah
cantik dari sononya. Elonya aja yang telat nyadar kalo adik gue tuh cantik.”
Ditepuknya bahu Triadi sambil membisikkan sesuatu ke telinga Fadith, sebelum
akhirnya dia mengajak Triadi berlalu.
YYY
“Katanya barusan elo mo ngomongin sesuatu tentang adik
elo, Di.” Tagih Fadith sesampainya dihalaman basket.
“Adik gue sebenarnya udah lama lagi merhatiin elo, Dith.
Dia pernah bilang ama gue kalo dia tuh penasaran ama elo.”
“Penasaran ama gue? Elo
serius Di?” Ada binar dimata Fadith yang tiba-tiba muncul begitu saja. Triadi
diam-diam mengerti apa arti binar yang sekilas terlihat dimata Fadith itu.
“Seriuslah! Lagian bo’ong juga
apa untungnya buat gue. Jangan-jangan elo juga penasaran ama adik gue ya,
Dith?” Tembak Triadi yang sepertinya cukup hanya sekali tembak untuk mengenai
sasaran.
Fadith hanya menganggukkan
kepala untuk mengiyakan pertanyakan Triadi. Dia tidak ingin menjawab pertanyaan
itu dengan kata-kata. Tapi Triadi mengerti mengapa Fadith melakukannya. Dari
sinar mata lelaki itu Triadi membaca sebaris kata cinta yang tak pernah terucap
disana. Fadith mencintai adiknya sama seperti adiknya mencintai Fadith. Ada
sepasang hati yang saling mencintai, namun tak pernah terucap dengan kata.
“Gue tahu kok kenapa elo
penasaran banget ama adik gue. Tapi gue minta tolong, elo jangan ngedeketin
adik gue ya disekolah. Elo tau kan kenapa?”
“Tantri kan alasannya?”
“Elo sendiri kan tau, Dith.
Tantri itu cewek kayak apa? Gue cuma nggak mau kalo Tantri macam-macam ama adik
gue. Udah itu aja. Karena gue tau doi itu cinta setengah mampus ama elo! Yang
gue tau doi nggak akan pernah ngebiarin siapapun buat ngedeketin elo. Elo pasti
ngertilah kalo ada orang yang tetap
nekat deketin elo apa yang bakalan terjadi, Dith.”
“Iyalah, gue ngerti. Gue
jamin keamanan adik elo disekolah ini dengan reputasi gue dan gosip yang udah
terlanjur santer beredar kalo gue lagi pedekate ama Tantri. Tapi, elo tau kan
ada banyak mulut dan telinga disekolah? Jadi, kalo suatu saat Tantri akhirnya
tau……. Ya berarti kita juga harus siap dengan semua kemungkinan yang bisa aja terjadi.”
“Ngomong-ngomong, udah berapa lama elo suka ama adik gue, Dith?”
“Penting ya? Yang penting
elo percaya ama gue apa nggak?”
“Halah, ngapain ngomong gitu
segala? Elo kan tau gue percaya ama elo tuh udah dari dulu. Karena gue tau elo
emang orang yang bisa dipercaya.”
Mereka berpisah di lorong
koridor kelas Triadi. Koridor kelasnya terletak dibelakangnya. Sebab disekolah
mereka ruang-ruang kelas dibuat memanjang ke belakang. Disetiap lorong koridor
terdapat tiga ruang kelas. Diawali dengan deretan ruang-ruang kantor didepan
ruang kelas X, diakhiri dengan ruang osis, kantin, dan rumah penjaga sekolah
dibagian paling belakang. Sedangkan ruang kelas Fadith terletak dideretan
belakang. Didepan lab kimia dan biologi. Disamping koridor kelasnya juga terdapat
lab komputer yang dibatasi dengan sebuah jalan setapak yang dibuat memanjang
dari depan kantor sampai ke depan kantin.
YYY
Baru saja Fadith sampai di ujung koridor kelasnya, Tantri
sudah menunggu didepan kelas. Begitu melihat dia datang Tantri segera berjalan
menghampirinya bak seorang peragawati di atas catwalk. Muak dia sebenarnya
melihat pemandangan itu. Tapi, inilah saatnya untuk memakai topeng dan memulai
sandiwara yang sudah dia lakukan sejak berbulan-bulan yang lalu.
“Pagi Fadith. Kok baru datang sih? Tantri kan udah
nungguin Fadith dari tadi.”
“Tadi pas mo berangkat angkotnya penuh terus sih. Jadi
kesiangan deh sampe sekolahnya.” Untung Tantri tadi tidak melihat saat dia dan
teman-temannya duduk didepan mushola.
“Ngapain Fadith masih naek angkot juga? Bukannya Fadith
udah dibeliin motor ama bokap, bisa donk dipake ke sekolah….. Trus sebelumnya
jangan lupa jemput Tantri dulu ya dirumah.” Rengek Tantri dengan nada manja.
“Tapi rumah kita kan beda arah Tan. Rumahku kalo dari
sekolah ke arah timur, trus kalo rumahmu ke arah utara. Jauh banget kan Tan?”
“Jadi Fadith nggak mau nih?”
“Bukan….. bukan gitu maksudku, Tan. Tapi, aku kan belom
punya SIM. Jadi ya aku belom berani bawa motor ke jalan raya pagi-pagi. Ntar
kalo pas ada razia SIM pagi-pagi gimana?”
“Bikin donk, Dith.”
“Ntar ya kalo aku udah sempet…..”
“Ok, deh Fadith.”
Bel tanda akan segera
dimulainya pelajaran jam pertama terdengar. Tantri yang terlihat masih ingin
mengajaknya bicara tiba-tiba diam dan menarik lengannya untuk masuk ke kelas.
Fadith hanya diam dan menurut saja diperlakukan seperti itu oleh Tantri. Akbar
yang sudah lebih dulu duduk dibangku tempat duduk mereka melemparkan senyum
usil melihat hal itu.
“Kayak kambing congek elo,
Dith.” Sapa Akbar ketika Fadith duduk dibangku sebelahnya.
“Rese elo!”
“Bukannya enak pagi-pagi
udah disuguhin sentuhan mesra dari tuan putri Tantri, Dith?”
“Enak kata elo!? Apanya yang
enak!? Nyebelin sih iya, Bar!”
“Tapi, barusan gue liat elo
kayaknya menikmati banget.”
“Itu namanya seni menghayati
peran, Bar.”
“Elo itu emang sinting,
Dith!”
“Yang pentingkan gue aman,
dianya seneng. Selesai perkara!”
Percakapan itu terhenti saat
guru pelajaran kimia yang terkenal salah satu guru terkiller disekolah berjalan
mendekati pintu kelas. Suasana kelas tiba-tiba berubah senyap dan tenang. Semua
murid duduk di tempat mereka masing-masing.
YYY
Pulang sekolah hari itu
Fadith langsung pulang ke rumah tanpa menghiraukan ajakan teman-temannya buat
nongkrong dikantin menunggu halte depan sekolah agak sepi. Selama perjalanan
pulang pikirannya terus saja melayang pada penjelasan Triadi tentang
hubungannya dengan Fiana.
Tak pernah terlintas
dibenaknya sedikit pun dengan kemungkinan kedekatan mesra itu sebagai kedekatan
biasa antara kakak dengan adiknya. Sungguh, dia tak pernah membayangkan
sekalipun kemungkinan terjadinya hal itu. Lagipula siapa yang akan menyangka
kalau mereka memang benar-benar saudara kandung? Apalagi selama ini Triadi
tidak pernah mengiyakan atau pun benar-benar menyangkal semua gosip yang sudah
terlanjur menyebar di sekolah tentang hubungannya dengan Fiana. Ditambah lagi
semua teman baik Triadi yang telah mengetahui kebenarannya memilih tutup mulut
dan membiarkan gosip itu semakin berkembang luas disekolah.
Dulu, sejak pertama kali dia
melihat Fiana secara tidak sengaja diawal-awal tahun pelajaran itu berlangsung
dia memang langsung merasa tertarik pada Fiana. Tapi, sejak berita tentang
kedekatan antara Triadi dan Fiana beredar luas dia memilih mundur teratur. Dia
tidak mau menyakiti hati Triadi. Sebab bagaimana pun juga Triadi adalah teman
seperjuangannya di sekolah. Tak akan pernah sampai hati dia menyakiti Triadi.
Ditengah kebimbangannya
tiba-tiba Tantri hadir dengan sebentuk hati yang awalnya terlihat begitu tulus.
Tantri terus mendekatinya dan tak pernah memberikan ruang untuknya bernafas
sedikit pun. Di setiap sudut sekolah mata Tantri hampir selalu mengawasinya.
Awalnya dia tak pernah peduli akan hal itu atau apa pun yang Tantri lakukan
dibelakangnya, meski pun dia mengetahui hal itu dari sahabat-sahabatnya. Tapi,
lama-lama semua perbuatan Tantri terasa sangat menganggu. Tidak hanya satu dua
kali dia mendengar Tantri melabrak gadis lain, hanya karena dia mendengar bahwa
gadis itu menyukainya. Sungguh perbuatan yang tidak pernah masuk akal untuknya.
Tapi, dia tak bisa berbuat banyak selain mencoba terus menyakinkan Tantri bahwa
dia pun menyukai Tantri seperti gadis itu menyukai dirinya. Tak pernah ada
gadis lain selain Tantri, meski pun sepenuhnya Fadith sadar bahwa di dalam
hatinya hanya menyimpan satu nama “Fiana”.
Tapi, Tantri tak perlu tahu
semua sandiwaranya. Tak perlu juga tahu semua isi hatinya yang tak pernah
sekalipun mencintai Tantri. Sebab, dia kini juga sudah dapat membayangkan apa
yang akan terjadi apabila Tantri tahu kalau dia tak pernah benar-benar
mencintai Tantri. Semua yang ia lakukan selama ini adalah sebuah sandiwara yang
penuh dengan kepalsuan belaka.
YYY
Fadith sampai sekarang masih
juga terus hanyut dalam sandiwara yang telah terlanjur dilakukannya selama ini.
Dia tak juga memiliki keberanian untuk mengakhiri semua cinta semunya pada
Tantri. Meski pun terkadang dia pun mencoba untuk menarik perhatian Fiana.
Jujur diakuinya dalam setiap pandangan gadis itu dia menemukan sebuah cinta
yang dinantinya selama ini dari seorang gadis. Cinta pertama yang penuh
ketulusan dan kesungguhan. Bukan hanya cinta semu yang penuh dengan
kepura-puraan belaka.
Tapi respon-respon Fiana
padanya hampir selalu mengambang hingga meninggalkan tanya yang dalam
dihatinya. Namun semakin dalam tanya itu mengendap dihatinya, semakin dalam
pula cinta yang bersemayam di lubuk hatinya untuk Fiana. Tapi, tak pernah
sekali pun dia mencoba mempertanyakan pada Triadi tentang respon-respon Fiana
yang mengambang. Dia tahu pasti apa penyebabnya. Sebab dia dapat membacanya
disinar mata Fiana. Mata teduh nan sayu itu selalu bercerita banyak hal padanya
setiap kali mereka bertemu pandang. Membuatnya kian hanyut pada cinta, yang
semakin ingin dia buang jauh, maka semakin sulit pula buatnya berhenti
mencintai Fiana.
Sebuah rasa yang semakin
besar menguasai hatinya, tanpa sadar telah membuat sikapnya pada Tantri sedikit
berubah. Perubahan yang sebenarnya telah menjadi sebuah kewajaran dimata
teman-teman dekatnya yang menyimpan rapat tentang rahasia sandiwaranya selama ini.
Tetapi, perubahan itu dinilai aneh oleh Tantri. Hingga membuat Tantri menaruh
kecurigaan pada perubahan Fadith yang aneh dimatanya.
YYY
Pagi itu, sekolah masih lengang. Belum begitu banyak
siswa yang sudah berada di sekolah. Jam-jam segini biasanya mereka masih
berdesakan di kendaraan umum atau masih berada di halte-halte menunggu
kendaraan umum yang melewati sekolah mereka datang. Tapi, entah apa yang
membuat Fadith datang pagi-pagi ke sekolah hari itu. Satu hal yang membuatnya
heran, Akbar sudah berdiri disamping pos satpam, ketika langkah Fadith sudah
hampir mendekati pintu gerbang sekolah.
“Nungguin siapa Bar? Tumben pagi-pagi gini elo udah
berdiri disini?”
“Ya nungguin elo lah. Emang
mo nungguin siapa lagi?”
“Ada apa, Bar? Tumben serius
banget elo.”
“Elo dicariin tuan putri
Tantri tuh.”
“Tantri nyariin gue? Emang
ada apa dia nyariin gue?”
“Tau tuh! Tapi yang pasti mukanya
dilipat-lipat tadi waktu lewat sini. Elo sendiri tau nggak kenapa kira-kira dia
kayak gitu?”
“Tau lah. Paling juga dia
udah tau kalo gue sekarang juga lagi pedekate ama Fiana.”
“Tapi, dia kan sepertinya
belom tau kalo elo juga lagi ngedeketin Fiana, Dith.”
“Pastilah dia udah tau, Bar.
Tapi yang gue nggak tau adalah dia tuh taunya darimana?”
“Udahlah elo temuin aja gih
sana. Daripada Triadi ama Fiana keburu dateng malah bisa berabe ntar
urusannya.”
“Oke, gue masuk duluan kalo
gitu.”
Fadith melangkah
meninggalkan Akbar di pos satpam. Tepat didepan pintu kelas Tantri sudah
menantinya. Benar kata Akbar, wajah gadis itu dilipat-lipat. Terlihat masam,
bahkan ketika melihat dia datang tersenyum seperti biasanya pun tidak. Fadith
tetap saja nekat masuk ke kelas melewati Tantri yang jelas tengah berdiri di
depan pintu kelas.
“Fadith.”
Fadith yang pura-pura tidak
mendengar sapaan Tantri terus saja melangkah menuju ke tempat duduknya. Tantri
yang merasa didiamkan oleh Fadith segera mengejar Fadith ke bangkunya. Melihat
Fadith duduk, Tantri pun ikut duduk di kursi Akbar.
“Kenapa Tan?”
“Kamu kenapa pura-pura nggak
ndengerin waktu aku panggil tadi?”
“Emang ada apa? Ada hal
penting yang mau kamu omongin ama aku?”
“Iya, aku emang mo bicara
penting ama kamu!”
“Ya udah! Kalo gitu cepetan
ngomong!”
“Kenapa sih akhir-akhir ini
Fadith keliatan berubah banget ama Tantri?”
“Berubah!? Berubah gimana? Perasaan
biasa aja deh, nggak ada satu hal pun yang berubah dari sikap aku ke kamu Tan.”
“Bohong!! Kamu emang paling
jago bohong, Dith!!”
“Pembohong!? Aku!? Maksud
kamu sebenarnya apa Tan?”
“Kamu pengen tau maksud aku
apa Dith!? Bener kamu pengen tau!?”
“Udahlah nggak usah
berbelit-belit kayak gini!! Bosen aku dengernya! To the point aja deh!!”
“Apa kamu masih bisa bilang
bosen kalo aku kasih tau apa yang bikin berubah ama aku!? Ceweknya Triadi kan
yang bikin kamu berubah kayak gini!?”
“Nggak usah kamu bawa-bawa
ceweknya Triadi!! Karena dia nggak tau apa-apa!!”
“Oh, gitu! Jadi, sekarang
kamu mau lindungin dia!”
“Asal kamu tau aja, Dith.
Aku bisa nglakuin apa aja buat bikin ceweknya Triadi kapok buat ngedeketin kamu
lagi!!”
“Aku ingetin ama kamu, Tan! Sekali
kamu berani macam-macam ama ceweknya Triadi kamu bakal berhadapan langsung ama
aku!! Dengerin itu baik-baik!!”
“Hebat banget ya ceweknya
Triadi itu. Udah punya cowok yang super populer di sekolah, masih juga
ngegangguin cowok orang!!”
“Tan, aku ini bukan cowok
kamu!!”
“Kalo gitu kamu harus mau
jadi cowok aku, Dith! Atau…..”
“Atau apa Tan!?” Potong
Fadith cepat.
“Atau gue akan ngelabrak
cewek kelas X itu dan ngebuat anak satu sekolah jadi benci ama dia!!”
“Oke! Aku akan jadi cowok
kamu! Tapi ingat, jangan pernah kamu berani menyentuh Fiana seujung rambut
pun!”
“Oh, jadi Fiana nama gadis
brengsek itu!!”
“Jaga bicara kamu, Tan!”
“Oke, mulai sekarang aku
nggak akan ngegangguin dia. Karena aku juga nggak butuh dia! Yang aku butuhin
itu cuma kamu, say.” Tantri pun berlalu meninggalkannya.
“Maafkan aku Fiana. Aku
terpaksa harus menyakitimu dan mengecewakanmu seperti ini. Maafkan aku
Fiana.”Bisik Fadith dalam hati saat menatap punggung Tantri yang menjauh
darinya lalu menghilang bersama beberapa teman segenknya.
Akbar datang setelah Tantri
menghilang entah kemana bersama teman-teman satu genknya. Melihat wajah kusut
Fadith, Akbar berjalan mendekatinya kemudian duduk disebelah Fadith yang
kebetulan memang tempat duduknya.
“Elo kenapa, Dith?”
“Tantri maksa gue buat
jadian ama dia, Bar?”
“Trus elo udah jadian ama
dia Dith?” Fadith hanya mengangguk dan diam tanpa kata. Akbar menepuk bahu
Fadith. “Sabar, bro.” Lanjutnya.
“Gue terpaksa mau jadian ama
dia. Karena kalo gue nggak mau dia mo ngerjain Fiana.”
“Gue tau itu, Dith. Karena
anak sekelas ini juga udah pada pahamlah Tantri itu orang yang kayak gimana?”
“Jagain Fiana buat gue,
Bar.”
“Dith, apa maksud elo!?”
Akbar terbelalak kaget.
“Gue tau lagi elo sebenarnya
selama ini ada hati juga ama Fiana. Jadi, tolong jagain Fiana buat gue. Karena
cuma elo satu-satunya orang yang gue percaya buat jagain Fiana, Bar.”
“Dith….”
“Please….”
“Elo sendiri gimana, Dith?”
“Biar gue jagain dia dari
jauh. Selamanya gue akan tetap cinta ama Fiana, Bar. Nggak akan pernah berubah
rasa yang udah terlanjur ada buat Fiana. Tapi, nggak sekarang gue bisa miliki
dia. Suatu saat nanti mungkin, Bar.”
“Dith……..”
“Fiana itu kayak bidadari
dalam hidup setiap cowok yang dekat ama dia, Bar. Nggak akan pernah ada cara
mudah buat lupain dia.”
Akbar hanya bisa tersenyum
mendengar penuturan Fadith. Baru disadarinya sekarang betapa besar cinta Fadith
buat Fiana. Hingga Fadith rela melindungi Fiana dengan cara apa pun, meski pun
harus dengan mengorbankan dirinya dan kebahagiaannya sendiri.
ΓΏTHE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar